Jumat, 25 Agustus 2023

FGD Pengarusutamaan Ekonomi Pancasila

PENGARUSUTAMAAN EKONOMI PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN INKLUSIF UNTUK MENCAPAI INDONESIA EMAS  2045

Pelaksanaan FGD

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Rumah Program Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat dengan tema Transformasi Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat Desa; maka Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan - Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) BRIN telah menyelenggarakan kegiatan Diskusi Panel Ekonomi "Pengarusutamaan Ekonomi Pancasila dalam Pembangunan Inklusif untuk Mencapai Indonesia Maju 2045". Webinar FGD secara online dilaksanakan Hari Selasa 20 Juni 2023, dari jam 8.30 sampai 12.00 WIB.

Opening Remarks oleh Dr. Agus Eko Nugroho, S.E., M.Appl.Econ. (Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat - BRIN). Panelis terdiri atas 4 orang narasumber yaitu:

1.      Prof. Syarif Hidayat, M.A., Ph.D. (Peneliti Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan - BRIN)

2.      Dr. Ir. Arif Budimanta, M.Sc. (Staf Khusus Presiden RI Bidang Ekonomi/ Penulis Buku "Pancasilanomics")

3.      Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., MS., DEA. (Guru Besar Ekonomi Politik IPB University dan Universitas Paramadina)

4.      Prof. Dr. Catur Sugiyanto, M.A. (Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada)

Closing Remarks oleh Irwanda Wisnu Wardhana, S.S.T., M.P.P., Ph.D. (Kepala Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan BRIN), moderator Prof. Dr. Ir. Erizal Jamal, M.Si., wrapping diskusi oleh DR. Ir. Syahyuti Msi; serta Pembawa Acara  Fatimatuz Zahro Diah Putri Dani, S.E., M.M. Jumlah peserta FGD tercatat 168 orang, yakni melalui zoom  125 orang dan live YouTube  43 orang. Selain live, kegiatan ini diupload secara utuh di Youtube dengan adress berikut: https://youtube.com/live/3HKkXAh-0J0?feature=share9 Sampai dengan tanggal 3 Juli (2 minggu setelah upload) telah diakses lebih dari 6.000 orang pengunjung.

 

MATERI FGD

Program Riset KKEK berupa Pengarusutamaan Ekonomi Pancasila sebagai Fundamental Values ekonomi nasional

Sebagai pengantar diskusi, Kapus PR KKEK menyampaikan bahwa pada hakekatnya kinerja ekonomi suatu negara sangat bergantung kepada institusi ekonomi yang dianut negara bersangkutan, pilihan politik, serta nilai-nilai sosial budaya nya. Kemajuan ekonomi negara Jepang sangat dipengaruhi nilai Confucianism, Eropa nilai Renaissance, Amerika nilai Kristiani, dan Arab dari nilai-nilai Islam. Lalu, untuk Indonesia apa?

Pusat Riset KKEK menjadikan Ekonomi Pancasila sebagai objek studi yang telah disusun untuk sampai tahun 2026. Pada tahap awal dilakukan penggalian pemikiran para founding fathers tentang konsep Ekonomi Pancasila, lalu memnelusri peluang implementasinya dari perspektif ekonomi kelembagaan. Berikutnya direncanakan untuk dilakukan studi tentang strategi pengarusutamaan (mainstreaming) Ekonomi Pancasila dan prioritas pada sektor-sektor strategis (industri, jasa, sumber daya alam, dll). Berikutnya, pada tahap akhir dilakukan upaya pengarusutamaan Ekonomi Pancasila dalam pembangunan ekonomi yang inklusif, yang salah satunya adalah melalui harmonisasi sistem perundang-undangan.

Kepala OR TKPEKM menambahkan bahwa penerapan Ekonomi Pancasila dapat menjadi modal berlangsungnya transformasi ekonomi nasional secara mendasar, yang akan mencakup banyak aspek sekaligus. Karena itu, perlu pemikiran mendalam dari kalangan akademis, yakni bagaimana nilai-nilai Ekonomi Pancasila digali dan dipraktekkan saat ini. Perlu dipelajari lagi rumusan Ekonomi Pancasila yang telah disusun para pemikir terdahulu termasuk founding fathers, serta bagaimana strategi penerapannya ke depan. Objek ini akan menjadi tema Rumah Program di OR TKEPEKM untuk tahun 2024.

 

Potensi Ekonomi Pancasila sebagai Fundamental Values ekonomi nasional

Pada giliran pertama, DR Arif Budimanta menjelaskan perbedaan mendasar antara Ekonomi Pancasila dengan “Ekonomi Konvesional”. Pa Arif menginisiasi konsep “Pancasilanomics” untuk diterapkan di Indonesia sebagai sistem ekonomi negara. Lebih jauh, Pa Arif menguraikan tentang situasi ekonomi dunia, konsep dan tujuan Ekonomi Pancasila, serta tantangan dan bagaimana strategi untuk institusionalisasi Ekonomi Pancasila ke depan.

Sistem ekonomi pada hakekatnya adalah sebuah konstruksi sosial. Maka, ini membutuhkan proses, yang di dalamnya terdapat resultante berbagai kekuatan, utamanya resultante pelaku-pelaku ekonomi yakni negara, swasta, dan individu. Dalam proses ini, maka berlangsung setidaknya dua tahapan besar yakni: dekontruksi lalu rekontruksi. Dalam proses ini, harus terjadi penataan distribusi sumber-sumber kapital. Ini yang utama.

Dalam konteks ini, maka Pa Arif dengan tegas menyebutkan bahwa Ekonomi Pancasila belum mengalami kontruksi sosial tersebut. Untuk itu dibutuhkan riset-riset untuk menjebol dan membangun nya. Dalam “tata ulang konfigurasi penguasaan sumber daya ekonomi” tersebut, perlu ditetapkan tentang “harga karya” dan “harga kerja”.

Lalu, menurut Prof Syarif, Ekonomi Pancasila dapat dilihat pada tiga posisi, yakni sebagai teori, politik ekonomi, atau sebagai orde ekonomi. Sebagai teori, maka Ekonomi Pancasila belum dapat dikatakan telah berhasil menjadi sebuah teori baru. Disampaikan pula, bahwa apa yang disampaikan panelis lain, lebih melihat Ekonomi Pancasila sebagai politik ekonomi. Delineasi ini sangat dibutuhkan untuk mengurai polemik tentang wacana Ekonomi Pancasila di Indonesia.

Lebih jauh, Prof Sayrif memaparkan conceptual framework untuk memahami dan mendudukkan Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila semestinya dapat “menjembatani” tiga aspek penting adalam ekonomi yakni production of wealth, distribution of wealth dan exchange of wealth; untuk mencapai apa yang disebut Adam Smith dengan the wealth of the nation. Tentu tidak mudah bagi Ekonomi Pancasila menjadi solusi (the solve of trade off) antara pertumbuhan dengan distribusi (equity), antara competitivenes dan inclusivity, dan antara mekanisme pasar dan peran negara.

Dihubungkan dengan presentasi Prof Didin Damanhuri, mungkin Jepang (Heterodox Model) dan banyak negara Asia berhasil menggabungkan atau mengkombinasikan pertentangan-pertentangan ini dalam sistem ekonominya, yang dikenal di kalangan akademisi dengan “Asia Way”.

Dalam perjalannyannya, setidaknya wacana Ekonomi Pancasila telah berlangsung dalam empat gelombang. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1955 an, yang merupakan perdebatan ideologis antara DR Widjojo Nitisastro dengan Wilopo SH. Lalu, mulai tahun 1970an berlangsung pemikiran yang dipimpin DR Emil Salim yakni tesis Ekonomi Pancasila sebagai “Ekonomi Pasar terkendali”.

Gelombang ke III terjadi dari akhir 1970 an sampai pertengahan 1980-an, yakni Prof Mubyarto, Prof Edi Swasono dan Prof Dawam Rahardjo yang dapat disebut sebagai membawa Ekonomi Pancasila sebagai “ekonomi jalan tengah”. Menurut Prof Didin, pemikiran ini dapat dikatakan “berseberangan” dengan pemikiran Arif Budimanta dalam konteks Ekonomi Pancasila sebagai ke arah Ekonomi Sosialis (?).

Terakhir, gelombang ke IV, berlangsung dari tahun 1988 sampai sekarang, dengan lahirnya berbagai pemikiran baru dari misalnya DR Arif Budimanta (buku “Pancasilanomics”), Prof Ahmad Eriyani Yustika, dan Prof Didin S. Damanhuri yang mengangkat Asia Way, heterodox Jepang, active state, pasar, kemitraan, serta aspek religiusitas, dan “Nusantaranomics”.

Namun demikian, untuk Indonesia, struktur ekonomi yang harus dibangun tetap harus kembali berbasiskan UUD 1945, yang berupaya mentransformasi struktur ekonomi dan politik kolonial menjadi struktur ekonomi dan politik nasional. Prof Didin menjelaskan, struktur ekonomi dan politik nasional adalah yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat sebsar-besarnya. Untuk mencapai ini, maka sistem ekonomi yang akan dijalankan dapat dibagi setidaknya atas dua level. Level atau aras bawah adalah apa yang disebut sebagai “ekonomi lokal” berupa prkatek “Nusantaranomics”; sedangkan aras tengah berupa UMKM dan koperasi (kelas menengah dan besar)

Strategi untuk Pengarusutamaan Ekonomi Pancasila

Dalam konteks pengarusutamaan, dapat dimaknai bahwa Ekonomi Pancasila diposisikan sebagai politik atau strategi pembangunan. Untuk ini, menurut Prof Syarif perlunya para ahli melakukan reaktualisasi Ekonomi Pancasila, sehingga mampu menjembatani berbagai aspek yang “berlawanan” di atas, yakni pilihan antara pertumbuhan dan pemerataan, antara persaingan dengan inklusifitas, serta antara mekanisme pasar dengan intervensi pemerintah. Ini butuh kerja akademis yang tidak mudah.

Strategi pengarus utamaaan Ekonomi Pancasila ke depan setidaknya perlu disusun di atas dua kaidah, yakni kaidah formal dan kaidah informal. Kaidah formal adalah dengan memasukkan di regulasi mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, sampai ke Peraturan Daerah. Sedangkan kaidah informal berkenaan dengan norma agama, norma adat istiadat dan berbagai norma lainnya.

Catatan untuk Pengembangan Riset berkenaan Ekonomi Pancasila di BRIN

Menjadikan Ekonomi Pancasila sebagai salah satu objek riset di BRIN jelas merupakan keputusan yang strategis. Menurut Prof Catur, mungkin juga perlu dilakukan pengarusutamaan riset Bidang Ekonomi Pancasila, untuk mengimbangi fakta begitu sedikitnya riset mengenai Ekonomi Pancasila saat ini. Akan baik pula ada penugasan dengan penekanan khusus pada BRIN atau RISTEKDIKTI untuk melakukan kolaborasi.

*****

Diskusi Strategi Pembumian Pancasila

 

Diskusi Publik Daring: Strategi Pembumian Pancasila Dalam Tata Kelola Negara, Perumusan, Dan Pelaksanaan Kebijakan



Link lengkap disini: https://aipi.or.id/frontend/news/read/574c766d78736b2b795831546d7777496a4a68614657304747554549747865456d6362726b2f4d47567058434842585156415672746542422f514e367a32376e7264456139766f4d546a575a5a3642385644594943773d3d

Webinar Kamis, 13 Juli 2023 oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Berikut beberapa catatan bebas dari saya yang ikut sebagai pendengar:

Pengantar oleh Daniel Mudiyarso:

·       Komisi kebudayaan mengangkat isu KEADILAN. Adil untuk kesejahteraan dan juga akses sumber daya alam juga.

·        Kesejahteraan masyarakat masih jauh

Moderator - Thamrin Amal Tomagola:

·       Perlu disadarkan kepada misalnya kalangan eksekutif dan legislatif: BUMIKAN Pancasila, hadirkan dalam kehidupan sehari-hari.

·       Misalnya apakah kalangan minoritas telah memiliki kebebasan “secara berbudaya”, secara beradab sebagaimana manusia merdeka?

·       Apakah masyarakat sudah bersatu dan dipersatukan dalam NKRI?

·       Bagaimana sila IV?  Belum. Yang berkuasa “sabda sang ketua umum”.

·       Sila V = lahan-lahan subur masih dirampas penguasa dan swasta besar.

Frans Magnis Suseno:

Ada 4 point:

1.      Menghadapi 2045, jika kita gagal membumikan Pancasila, ga tahu akan bagaimana Indonesia

2.     Pancasila = nilai-nilai dan etika yang mendasari perpolitikan di Indonesia. Tolok ukur nya politik ya Pancasila

3.     Pancasila membumi maknanya = jika dalam kelakukan sehari-hari masyarakat, sikap-sikap, menjadi nyata. Tercermin juga di politik

4.      Masyarakat ga akan ber Pancasila jika masyarakat percaya bahwa politik yang berjalan etis, yakni yang ber Pancasila

 ·         Untuk Sila I = nir kekerasan berdasar agama

·         Untuk sila II = nir kekerasan hanya bisa jika negara terlibat penuh

·         Bagaimana mungkin kita bisa mencintai negara yang dipimpin oleh para koruptor

·         Negara harus menjamin kebebasan masyarakat untuk menentukan wakilnya.

·         Kenapa di Indonesia tidak ada “partai kiri”? Jadi, warga ga punya pilihan.

·         Sila V = masyarakat harus dapat merasakan bahwa Indonesia tidak hanya milik mereka “yang di atas”, namun milik semua.

·         (materi Prof lebih pada “mestinya”, “harus nya”, dst. Normatif. Namun, tidak memberikan langkah-langkah untuk mencapainya secara taktis)

Yudi Latif:

·       Cara yang paling gampang ya perpolitikan. Sila IV utamanya, diapit Sila III dan V. Sedangkan Sila I dan II = funadamental etik.

·        Negara harus bisa mengatasi faham perseorangan

·        Negara persatuan dan negara keadilan di bawah “negara hukum”. Semua dicapai dengan prinsip-prinsip hukum.

·        Demokrasi manapun terbiasa menangani masyarakat heterogen, namun yang minoritas pasti dipaksa mengikuti yang dominan (culture nya dll …), baik di AS maupun Eropa, dll

·        Isu kulturalisme tidak mudah, negara-negara maju juga ga berhasil

·        Bahkan otoritarianisme relatif berhasil menangani masy majemuk, sebaliknya demokrasi selalu sulit menangan masy majemuk.

·        Kemajemukan + karaketr masyarakat pasca kolonial = menjadikan Indonesia semakin rumit. Globalisasi juga menambah kerumitan.

·         Secara antropologis = kemajemukan Indonesia berasal dari faktor genetis.

·        Sebenarnya, KESAMAANNYA kita lebih banyak, namun kita senang melihat PERBEDAAN antar kita. Parahnya, kategorisasi yang dibuat masyarakat asal jadi, liar.

·        Misalnya = Jawa dan Sunda sama 99%, tapi tetap yang diperhatikan beda nya dimana.

·        Lalu bagaimana menjalan kan demokrasi dalam kondisi begini? Caranya:

.       Menemukan COMMON GROUND, yakni titik temu, titik tumpu, titik tuju yang sama. Politik harus mampu menemukan titik temu ini.

2.      Perbanyak silaturrahmi. Konektivitas.

3.      Secara insting,  dalam bergaul orang senang dengan “yang sama”. Syukur nya manusia adalah makhluk pembelajar. Yang penting hati dan fikiran terkoneksi, ga penting infsrastruktur nya. Contohnya saat Sumpah Pemuda. Saat itu kondisi padahal tidak memadai.

4.      Agar tak terjebak “keharusan-keharusan normatif”,

5.      Konektivitas butuh literasi. Butuh ruang-ruang perjumpaan, agar meraka yang berbeda bertemu. Misalnya melalui fasilitas publik.

6.      Perbanyak jaring-jaring inklusifitas, di perbankan, pelayanan publik, dll

7.      Agar konektivitas “mempertemukan” maka butuh relasi yang setara, butuh common purpose,

8.     Butuh culture nationalism = orang merayakan peristiwa-peristiwa budaya bersama

 (Pa Yudi Latif sudah mulai masuk ke strategi dan cara MEMBUMIKAN Pancasila)

 Ibu Hendri Saparini:

·        Demokrasi politik kita cukup sukses, namun demokrasi ekonomi belum. Saat ini = kemiskinan + kesenjangan. Yang rentan miskin pun masih banyak.

·        Isu strategis Indonesia emas 2045 = kesenjangan mengkonsumsi, akses ke aset produktif (lahan), pendidikan juga, dll.

·        Simpanan di bank kelompok msikin makin sedikit proporsinya.

·        Pertumbuhan ekonomi kita kecil dan melambat

·        Kita gagal membangun industri manufaktur

·        Untuk penciptaan lapangan kerja, perhatikan SDM kita yang ada

·        UKM kita belum kompetitif, belum produktif.

·        Maka untuk membumikan Pancasila:

 1.       Pasal 33 = luruskan lagi soal kepemilikan, harus dikembalikan ke negara. Agar negara mampu menangani perosalan-persoalan di atas. Tugas negara sangat besar.

2.      Institusi ekonomi kita = kita bukan negara yang tertutup

Prof Nitisastro: apa yang penting untuk pembangunan ekonomi? Teknokrat harus mampu mendaratkan / mengoperasikan berbagai gagasan-gagasan.

Prof Emil Salim:

·        Pendidikan kita rendah.

·        Inti pembangunan adalah bukan SDA, tapi bagaimana manusia-manusia nya mampu menggunakan SDA dan memanfaatkannya. Intinya human resources. Kita ketinggalan.

·        Teknologi yang berkembang saat ini baru, dan kita banyak yang buta digital.

·        Pembangunan = pada hakekatnya adalah pembangunan manusia. Manusia sebagai pelaksananya, dan yang memanfaat pembangunan tersebut.

Prof Thamrin AT:

·        Bagaimana menjadikan ide-ide ini masuk ke regulasi?

·        Sesuai Prof Magins = masukkan dalam regulasi, jalankan dalam program

·        Intelektual harus memiliki kemampuan loby politik

Daniel Murdiyarso:

·        AIPI perlu memberikan pencerahan kepada elit

·        Maka, AIPI perlu memperkuat kemampuan komunikasi, lobby dll

Amin Abdullah:

·        Belum ada koneksi sila-sila Pancasila dengan regulasi. Meski ada di regulasi beberapa nilai sila, namun Pemda misalnya belum menjalankan sesuai nilai tersebut, misalnya nilai kebebasan. Perda-Perda ga taat.

·        Ekonomi Pancasila dari para ahli selama ini (Bung Hatta dll) baru pada rumusan-rumusan yang belum operasional.

Hendri Saparini:

·        Yang bisa dilakukan untuk membumikan Ekonomi Pancasila = mengikutsertakan banyak pelaku ekonomi, misalnya BUMN jadi hub. CSR jangan berupa charity. Namun yang lebih produktif.

·       Korupsi yang terjadi saat ini lebih parah karena MEMBELOKKAN kebijakan

·       SDM kita belum cukup mampu mengelola SDA yang kita punya. Soal kemampuan dan kepemilikan.

Yudi Latif:

·       Menurun ide-ide ini ke regulasi tidak mudah.

·       Mengapa yang koruptor berpendidikan tinggi. Ya, karena mereka lah yang akses dan memiliki otoritas tinggi / kuat.

·         Sebelum dibumikan, perlu dilakukan pemetaan dulu.

Prof Indra Almanar:

·       Sistem pendidikan kita perlu perubahan mendasar dalam segala aspeknya, utamanya kurikulum.

Komen peserta:

·        Untuk membumikan nilai-nilai Pancasila, pertanyaannya apakah sudah ada kesamaan persepsi atau tafsir dari setiap sila? Jika belum ada, bagaimana mau membumikan nilai-nilai Pancasila?

·       Mahkamah Konstitusi perlu diberi wewenang baru untuk menguji kesesuaian UUD dengan Pancasila. Sebab blm semua sila dipahami secara tepat.

·        Bagaimana mencari titik temu pembumian Pancasila bagi generasi milenial dan Gen Z, krn mrk cenderung individudaisrtis

·       Kalau "membumikan" Pancasila artinya Pancasila seolah-olah ada di awan-awan atau jatuh dari langit. Padahal Pancasila itu "volkgeist" atau jiwa bangsa. Pancasila juga kepribadian bangsa. Pancasila itu harus terartikulasi dalam keseharian. Tapi masalahnya policy makers mendalangi pelanggaran Pancasila dengan "state capture corruption" alian korupsi via kebijakan, Jadi bagaimana strategi praxis yang perlu ditempuh bangsa ini?

*****

 

Daftar Isi BLOG:

Ekonomi ISLAM


Ekonomi PANCASILA

Ekonomi KERAKYATAN


Ekonomi Islam - Pancasila - Kerakyatan

  • Kesejajaran Ekonomi Pancasila dengan Ekonomi Islam


*******


Urgensi dan Strategi Pengarusutamaan Ekonomi Pancasila dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

  Abstract Pembangunan nasional yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan mengabaikan aspek pemerataan telah memic...